Sabtu, 05 Oktober 2013

PROPOSAL PENELITIAN


HADIS-HADIS TENTANG NIKAH MUT’AH
(STUDI MA’ANIL HADIS)
A.    Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok dalam al-Qur’an untuk menunjuk perkawinan (pernikahan)[1]. Perkawinan menurut istilah ilmu fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan ziwaj. Sedangkan nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya (haqiqat) dan arti kiasan (majaz). Arti yang sebenarnya dari nikah ialah dham, yang berarti menghimpit, menindih, atau berkumpul, sedang arti kiasannya ialah watha’ yang berarti setubuh atau aqad yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan.[2]
Agama Islam sangat menganjurkan perkawinan. Anjuran ini dinyatakan dalam bermacam-macam ungkapan yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis. Ada yang menyatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi sunnah para rasul sejak dahulu kala dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi yang datang kemudian.[3] Sebagaimana dalam al-Qur’an Q. S. ar-Ra’d (13): ayat 38. Terjemahannya sebagai berikut;
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu’jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)).[4]
Disinilah pemahaman tentang adanya nikah yang dianjurkan. Adapun hukum nikah bermacam-macam. Bisa menjadi wajib[5], sunnah[6], mubah (boleh)[7], dan bisa juga menjadi haram[8][9]. Dari macam-macam hukum yang telah penulis paparkan, maka penulis akan mencoba menjelaskan salah satu dari hukum tersebut yaitu haram. Haram disini masih bersifat kompleks. Maka penulis mencoba untuk mengerucutkannya lagi. Pernikahan yang dilarang atau bisa disebut dengan yang diharamkan, yaitu di mana pernikahan yang hanya bertujuan untuk kesenangan semata, dan termasuk dalam pernikahan yang dibenci Rasulullah saw. dan tidak sesuai dengan pernikahan yang disyariatkan agama Islam. Pernikahan yang dilarang diantaranya yaitu nikah mut’ah, nikah muhallil, nikah syighar (nikah tukaran), nikah tafwidh, dan nikah yang kurang salah satu dari syarat-syarat atau rukun-rukunnya.[10] Disini penulis hanya akan membahas salah satu dari tersebut yaitu nikah mut’ah.
Nikah mut’ah adalah nikah yang dilakukan seseorang untuk waktu yang terbatas, misalnya, untuk satu tahun, dua tahun, dst. Dalam pernikahan ini, suami tidak diwajibkan membayar maskawin dan nafkah, tetapi cukup memberi mut’ah (pemberian tertentu yang dijanjikan pada waktu akad nikah). Dalam istilah sekarang, orang sering mengatakannya dengan kawin kontrak.[11]
Dengan melihat fenomena tersebut, maka penulis disini terdorong untuk mengkaji bagaimana sebenarnya pandangan hadis mengenai nikah mut’ah. Dengan cara menganalisa hadis-hadis yang berhubungan dengan nikah mut’ah tersebut. Salah satu hadis yang berkaitan dengan nikah mut’ah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitabnya,
حدثنا مالك بن اسماعل حدثنا ابن عيينة انه سمع الزهرى يقول أخبرنى الحسن بن محمد بن على واخوه عبدالله بن محمد عن ابيهما أن عليا رضى الله عنه قال لإبن عباس إن النبى صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر
Artinya:
Malik bin Isma’il telah menceritakan kepada kami (anak ‘Uyaynah) bahwa ia mendengar az-Zuhri mengatakan, dari Muhammad bin Ali dan saudaranya (‘Abdullah bin Muhammad) bahwasanya Ali ra. Ia berkata kepada Ibn Abbas, “Sesungguhnya Nabi saw. telah melarang nikah mut’ah dan melarang memakan daging keledai jinak pada masa perang Khaibar.” [12]
Contoh hadis diatas adalah salah satu hadis dari sekian hadis yang berhubungan dengan nikah mut’ah. Banyak hadis yang berhubungan dengan nikah mut’ah. Yang semula terdapat hadis dibolehkannya nikah mut’ah, lalu muncul lagi hadis yang melarang, meskipun sempat pula diperbolehkan lagi dan dilarang lagi.
B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah diatas dan agar permasalahan yang dibahas tidak meluas, maka perlu dirumuskan seperti apa hadis tentang nikah mut’ah. Oleh karena itu masalah-masalah yang ada dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1.        Bagaimana pemahaman dan pemaknaan hadis tentang nikah mut’ah?
2.        Bagaimana relevansi pemaknaan hadis tersebut jika dihubungkan dengan realita sekarang?
C.    Tujuan Penelitian
1.           Mengetahui hadis tentang nikah mut’ah beserta pemahaman dan pemaknaannya.
2.           Mengetahui relevansi pemaknaan hadis dengan realita sekarang.
D.    Signifikasi Penelitian
1.             Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah keilmuan tentang nikah mut’ah khususnya ditinjau dari perspektif hadis serta pemaknaan kekiniannya.
2.             Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih banyak tentang hadis-hadis nikah mut’ah dapat dijadikan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
E.     Telaah Pustaka
Sebenarnya pembahasan tentang nikah mut’ah telah banyak. Pembahasan yang hampir sebagian besar ditinjau dari segi fiqh ini banyak dalam bentuk buku. Mulai dari sekedar dalam bahasan sub bab, ataupun judul bukunya langsung. Namun sejauh yang penulis cari hanya menemukan dua judul mengenai nikah mut’ah dalam perspektif hadis di skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Hadis-hadis tentang nikah mut’ah dalam kitab Shahih Bukhari (studi kritik sanad dan matan) oleh Nurcholis[13] merupakan penelitian hadis tentang nikah mut’ah yang mengkajinya melalui sanad dan matan hadis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Nurcholis adalah pada analisisnya. Nurcholis menggunakan analisis sanad dan matannya, yaitu dimana menjelaskan hadis tentang nikah mut’ah ditinjau dari sanad dan matannya shohih atau tidak, meneliti perowi-perowi yang meriwayatkan hadis tersebut. Sedangkan penulis mencoba menjelaskan melalui pemaknaan dan pemahaman hadisnya.
Hadis tentang nikah mut’ah dan pelaksaannya di Kec. Cipanas Kab. Cianjur Jawa Barat oleh Fauzan Rahmat Harisno[14] merupakan penelitian lapangan yang dimana peneliti mencoba mengkaji dalam tingkah laku masyarakat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fauzan adalah pada metode yang digunakan. Fauzan menggunakan penelitian lapangan (field research) sedangkan penulis menggunakan litetatur (libraby research).
Dr. Fuad Mohd. Fachruddin menjelaskan nikah mut’ah dari pandangan syi’ah dalam bukunya. Sebab ini merupakan salah satu pendirian mereka (syi’ah) untuk menarik perhatian umum terutama muda-mudi Islam[15]. Untuk mempertahankan pendapat mereka ini, mereka mencari alasan-alasan yang dasarnya hanyalah untuk membenarkan ajaran mereka dengan mengganggap situasi darurat membolehkan hukum yang semula dilarang[16]. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Dr. Fuad adalah pada sudut pandang peneliti. Yaitu Dr. Fuad menggunakan sudut pandang dari kelompok syi’ah, sedangkan penulis dari sudut pandang hadis.
Sachiko Murata lebih jauh lagi mengulas tentang nikah mut’ah dalam pandangan syi’ah, namun menggunakan studi komparasi antara syi’ah dan sunni dalam buku kecilnya[17]. Tujuan utama dari studi yang dilakukan Sachiko ini adalah melacak asal-usul dari perdebatan antara Sunni dengan Syi’ah dengan kembali kepada sumber dan argument di kedua belah pihak[18]. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Sachiko adalah pada metode yang diambil. Sachiko menggunakan metode komparatif sedangkan penulis menggunakan metode analisis teks hadis.
Lanjut lagi Quraish Shihab juga membahas tentang nikah mut’ah namun dalam sub bab dalam bukunya[19]. Buku ini merupakan seputar  tanya jawab Islam yang beliau rangkum. Kurang lebih tiga halaman beliau menjawab sebuah pertanyaan tentang lebih baiknya nikah mut’ah atau nikah sirri. Berawal dari penjelasan beliau mengenai nikah mut’ah, lalu perbedaannya dengan nikah biasa, penafsiran ayat tentang pembolehannya nikah mut’ah, dan juga penjelasan tentang nikah sirri. Menurut beliau antara mut’ah dan sirri sama-sama buruk dan hendaknya dihindari[20]. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Quraish Shihab adalah buku dari Quraish Shihab merupakan buku rangkuman dari pertanyaan yang banyak orang ajukan kepadanya. Dan pembahasan nikah mut’ah hanya beberapa halaman saja dengan pertanyaan yang berkaitan pula dengan nikah sirri. Sedangkan penulis mencoba fokus meneliti tentang nikah mut’ah dalam perspektif hadis ditinjau dari realitas saat ini.
F.     Metode Penelitian
Penelitian pada hakikatnya merupakan tindakan yang diterapkan manusia untuk memenuhi salah satu hasrat yang selalu ada dalam kesadaran manusia, yaitu rasa ingin tahu. Demikian keingintahuan manusia tentang segala aspek yang berkaitan dengan gejala-gejala yang muncul dari religiusitas masyarakat, juga menghasilkan tindakan-tindakan untuk meneliti. Dalam tindakan tersebut masyarakat menggunakan berbagai metode[21]. Dengan demikian penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1.      Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini masuk ke dalam penelitian studi kepustakaan (library research) yang dimana dalam proses pengumpulan data dengan menggunakan berbagai literatur seperti buku, artikel, dan sebagainya yang berkaitan dengan nikah mut’ah. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif analitik yaitu berusaha mendeskripsikan tentang nikah mut’ah lalu menganalisi hadis perihal tersebut dan relevansinya sekarang.
Selanjutnya penelitian ini juga bersifat kualitatif yang dimana jenis penelitian yang tidak dapat dicapai melalui prosedur pengukuran atau statistik[22]. Dikarenakan penelitian ini dimaksudkan untuk memahami teks hadis dan pemaknaannya mengenai nikah mut’ah.
2.      Pengumpulan Data
Data yang penulis peroleh dari penelitian ini melalui buku-buku maupun dokumen yang berkaitan dengan objek yang penulis teliti. Adapun teknik yang digunakan penulis adalah dengan mengumpulkan buku, artikel, majalah, maupun internet yang berhubungan dengan kajian yang akan penulis teliti. Sumber primernya yaitu kitab-kitab hadis baik berbentuk buku seperti kitab Shohih al-Bukhari, Shohih al-Muslim, dll., maupun berbentuk software seperti dalam Maktabah Syamela dan Mau’suah yang membahas tentang nikah mut’ah. Sedangkan sumber sekunder yang mendukung sumber primernya adalah buku-buku, artikel, maupun internet yang berkaitan dengan penelitian ini. Seperti bukunya Dr. Fuad Mohd. Fachruddin yang berjudul nikah mut’ah dari pandangan syi’ah, Sachiko Murata dengan judul nikah mut’ah dalam pandangan syi’ah dan sunni, dll. yang telah penulis kutip sebelumnya di dalam telaah pustaka.


[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta: ACAmedia dan Tazzafa, 2004), hlm. 17
[2] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974), hlm. 1
[3] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, hlm. 9
[4] Pelayan Dua Tanah Suci, al-Qur’an dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, surat ar-Ra’d ayat 38
[5] Jika seseorang sudah dianggap mampu (usia, ekonomi, biologis, psikis) untuk menikah dan ia sangat beresiko terjebak pezinaan.
[6] Jika seseorang dianggap mampu untuk menikah, namun masih bisa menjaga dirinya.
[7] Seseorang yang sebenarnya belum dianjurkan untuk menikah, namun tidak ada alasan pula yang melarangnya untuk menikah.
[8] Banyak alas an disini, diantaranya karena sepersusuan, saudara kandung, ayah, ibu, anak, atau bisa juga disebabkan karena tidak sempurnanya rukun atau syarat nikah.
[9] Lihat www.annehira.com, Perkawinan dalam Islam.
[10] Lihat Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, hlm. 110-116
[11] A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk, (Bandung: Al-Bayan, 1995), hlm. 24
[12] Hadis diriwayatkan Bukhori, kitab nikah, bab Rasulullah melarang nikah mut’ah dan sejenisnya, no. 4723. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh mukharij al-hadis lainnya, seperti Muslim, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, Ahmad, dan Darimi. Lihat CD Mausu’ah li Kutub at-Tis’ah
[13] Lihat Nurcholis, ”Hadis-hadis tentang Nikah Mut’ah dalam Kitab Shohih Bukhori (Studi Kritik Sanad dan Matan)”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 2008, 132 hlm.
[14] Lihat Fauzan Rahmat Harisno, “Hadis tentang Nikah Mut’ah dan Pelaksaannya di Kec. Cipanas Kab. Cianjur Jawa Barat”, Skripsi UIN Sunan Kalijaga: Fak. Ushuluddin, 2009, 87 hlm.
[15] Lihat Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), hlm. xi
[16] Lihat Fuad Mohd. Fachruddin, Kawin Mut’ah dalam Pandangan Islam,hlm. 83
[17] Lihat Sachiko Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2001), 132 hlm.
[18] Sachiko Murata, Lebih Jelas tentang Mut’ah Perdebatan Sunni dan Syi’ah, hlm. X
[19] Lihat M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, (Jakarta: Lentera Hati, 2008)
[20] Lihat M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, hlm. 559-561
[21] Lihat Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, (Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2012), hlm. 53
[22] Lihat Moh Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, hlm. 85

Senin, 23 September 2013

ilmu mukhtalif al hadis



A.    Pengertian Mukhtalif Al-Hadis
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtaliful-Hadits adalah hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Sedangkan definisi secara istilah adalah : “hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya”.
Subhi Shalah mendefinisikan mukhtalif al-hadis sebagai,” Ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, karena adanya kemungkinan bisa dikompromikan, baik dengan cara membawanya kepada beberapa kejadian yang relevan dengan hadits tersebut dan lain-lain”.
Dengan demikian secara sederhana mukhtalif al-hadis adalah “Ilmu yang membahas redaksi-redaksi hadis yang secara lahiriyah saling bertentangan yang setara tingkat kemaqbulannya (shahih-shahih/shahih-hasan) untuk dipahami maksudnya.
B.     Syarat-syarat terjadinya hadis mukhtalif
1.      Hadis lebih dari satu
2.      Sama-sama dalam drajat hadis maqbul
3.      Konteks hadis dalam persoalan yang sama
4.      Hadis-hadis tersebut secara lahiriyah saling bertentangan
5.      Dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan atau mengamalkan salah satu yang paling kuat
C.    Objek kajian
Redaksi-redaksi hadis yang kontradiktif yang kualitasnya setara atau setingkat.
D.    Urgensi
1.      Membantu kesulitan umat Islam dalam memahami redaksi-redaksi hadis yang kontradiktif.
2.      Dapat memahami makna/kandungan beberapa redaksi hadis yang kontradiktif atau sulit dipahami.
3.      Mengetahui metode atau caranya, ketika mendapatkan redaksi hadis yang kontradiktif.


E.     Metode
Para ulama sepakat menggunakan dua jalan(metode) :
1.      Thariqatul-Jam’I, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2.      Thariqatut-Tarjih,  yaitu bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka :
a.       Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tingalkan yang mansukh.
b.      Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
c.       Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.
Contoh :
Dengan Thariqatul-Jam’I
Hadis tentang mahrom:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ قَزَعَةَ مَوْلَى زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ
وَقَدْ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ غَزْوَةً قَالَ أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ يُحَدِّثُهُنَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي أَنْ لَا تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ وَلَا صَوْمَ يَوْمَيْنِ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
(BUKHARI - 1731) : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Abdul Malik bin 'Umair dari Qaza'ah, maula Ziyad berkata; Aku mendengar Abu Sa'id yang sudah pernah mengikuti peperangan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak dua belas peperangan, berkata: "Empat perkara yang aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, atau dia (Qaza'ah) berkata; telah menceritakan Abu Sa'id tentang beberapa perkara yang dia dapatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang perkara-perkara itu menakjubkan aku (yaitu): "Tidak boleh seorang wanita bepergian sepanjang dua hari perjalanan kecuali bersama suaminya atau mahramnya dan tidak boleh shaum dua hari raya, 'Iedul Fithri dan 'Iedul Adhha, dan tidak boleh melaksanakan dua shalat, yaitu setelah 'Ashar hingga matahari terbenam dan setelah Shubuh hingga matahari terbit dan tidaklah ditekankan untuk berziarah kecuali untuk mengunjungi tiga masjid, Al Masjidil Haram, Masjidku dan Masjidil Aqsha"

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
(MUSLIM - 2386) : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Laits dari Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya bahwa Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang wanita muslimah untuk bersafar sejauh sehari perjalanan, kecuali ditemani seorang laki-laki yang dari mahramnya."

و حَدَّثَنِي أَبُو غَسَّانَ الْمِسْمَعِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ جَمِيعًا عَنْ مُعَاذِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا مُعَاذٌ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ قَزَعَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُسَافِرْ امْرَأَةٌ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
و حَدَّثَنَاه ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ أَكْثَرَ مِنْ ثَلَاثٍ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
(MUSLIM - 2385) : Dan telah menceritakan kepadaku Abu Ghassan Al Misma'i dan Muhammad bin Basysyar semuanya dari Mu'adz bin Hisyam - Abu Ghassan berkata- Muadz telah menceritakan kepadaku bapakku dari Qatadah dari Qaza'ah dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa Nabi Allah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang wanita tidak boleh mengadakan perjalanan di atas tiga malam, kecuali disertai mahramnya." Dan Telah menceritakannya kepada kami Ibnu Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Adi dari Sa'id dari Qatadah dengan isnad ini dan ia menyebutkan; "Lebih dari tiga hari, kecuali bersama mahramnya."
Dari keterangan 3 hadis di atas bisa menggunakan metode Thariqatul-Jam’I, karena antara redaksi hadis yang bersangkutan bisa dikompromikan.
Dengan Thariqatut-Tarjih
Hadis tentang ziarah kubur:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ يُحَدِّثُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ
(ABUDAUD - 2817) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Muhammad bin Juhadah ia berkata; saya mendengar Abu Shalih menceritakan dari Ibnu Abbas berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para wanita yang menziarahi kuburan, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan memberikan pelita.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً
(ABUDAUD - 2816) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Mu'arrif bin Washil dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku telah melarang kalian menziarahi kuburan, sekarang berziarahlah ke kuburan, karena dalam berziarah itu terdapat peringatan (mengingatkan kematian)."
Pada satu sisi hadis pertama melarang wanita untuk berziarah namun pada hadis kedua disarankan untuk berziarah kubur karena itulah maka para ulama melakukan tarjih dengan menilai mana yang lebih kuat atau mana yang telah dihapus hukumnya.
Kemudian, akhirnya para ulama berkesimpulan bahwa ziarah kubur bagi kaum muslimin itu hukumnya sunnah demikian juga hal nya bagi wanita.